-->
author

sticky

close
Hukuman Mati Bagi Pencemar Lingkungan

Hukuman Mati Bagi Pencemar Lingkungan

Persoalan lingkungan hidup telah menjadi penyakit kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal, masalah lingkungan hidup di Indonesia disebabkan oleh paradigma pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan faktor lingkungan yang kerap dianggap sebagai penghambat, utamanya oleh pengusaha yang serakah.

Kondisi tersebut dapat menyebabkan terabaikannya pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup dan religiusitas di dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Akibatnya kualitas lingkungan makin hari makin menurun, ditandai dengan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup diberbagai wilayah Indonesia.

Hukuman Mati Bagi Pencemar Lingkungan

Pengrusakan lingkungan hidup dari perspektif hukum Islam, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Dalam pengertian, Islam sangat peduli dengan persoalan tata lingkungan. Hal ini bisa didekati dengan sudut pandangan keagamaan maupun hukum Islam itu sendiri.

Dari pandangan keagamaan, Rasulullah SAW pernah mengingatkan umatnya, “Jika Anda mau bertempat tinggal di sebuah lokasi maka hendaklah Anda perhatikan lingkungan kanan-kirinya.” Al Jaar qabla ad daar, lihatlah tetanggamu (lingkungan sekitarmu) sebelum rumahmu. Secara inheren bukan semata-mata lingkup tetangga tetapi juga dari aspek kesehatannya, keamanan, kebersihan dan lain sebagainya. Jadi, lingkungan dalam arti yang seluas-luasnya.

Bila ada pencemaran lingkungan atau pembuangan limbah beracun, pelakunya dapat dikenakan sanksi atau hukuman berat. “Pelanggaran ini sudah masuk pada persoalan ifsad fi al ardl, (berbuat kerusakan di atas muka bumi).” Ini mengacu pada al-Quran surah ar-Rum 31. Pada sisi lain, juga bisa mengacu pada hukum termaktub dalam surah al-Maidah 33.

Apalagi dampak pencemaran yang ditimbulkan luar biasa besarnya, misalnya sampai menimbulkan tidak saja keracunan, cacat fisik, tetapi juga nyawa, maka hal itu masuk fasad fi al ardl (menimbulkan kerusahan di muka bumi). Mari kita pahami al-Quran surah al-Maidah 33, yang artinya, “Bahwa pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat kerusakan di muka bumi, maka pembalasannya diberi hukuman yang berat.”

Apa itu hukuman berat? Antara lain hukuman mati. Bisa juga hukuman potong tangan dan kaki, secara silang, bisa juga dipenjarakan dan diasingkan, bahkan bisa pula disalib atau dipancung. Begitulah Islam mengambil sikap tegas agar manusia tidak main-main dengan pencemaran lingkungan.

Tetapi dalam praktik di lapangan, mereka yang melakukan pencemaran lingkungan dan menimbulkan dampak yang berat, bentuk sanksi dan hukumannya, semua tergantung pada hakim pengadilan. Hakim pengadilan bisa memilih. Ada pilihan hukum namanya, bahasa fiqihnya ‘tahyirul uquubah’. Misalnya, bisa saja bentuknya berupa hukuman badan, bisa juga hukuman denda. Bila hukuman denda yang dipilih, hasil dendanya menurut hemat kami, sebaiknya diberikan kepada pihak korban bukan kepada Negara.

Bagaimana dengan para fuqaha (ahli fiqih) masa lalu, apakah mereka juga membahas masalah pencemaran lingkungan ini? Kalau secara eksplisit menyebutkan istilah “lingkungan hidup”, kami rasa tidak ada. Tapi pernah terjadi di zaman Rasul, kejadiannya kurang lebih seperti ini. Ada seseorang yang sebenarnya tidak bermaksud melukai orang lain, katakana saja si A. Suatu ketika si A ini membuat lubang untuk menjebak hewan yang selalu mengganggu tanaman di perkebunannya. Tetapi, yang masuk perangkap itu malah seorang pemburu yang kebetulan mencari hewan buruannya namun terjerembab masuk lubang perangkap yang dibuat oleh si A. Akibat tidakannya itu, si A kemudian diberi hukuman atau sanksi denda karena telah dianggap mencederai orang lain, walaupun tidak sengaja.

Kasus ini, bagi kami cukup relevan untuk dii’tibarkan (diibaratkan) sebagai tidakan pencemaran lingkungan seperti yang kini tengah tejadi diberbagai daerah di Indoensia. Tetapi jelas, ulama tidak mencantumkan perusakan lingkungan itu ke dalam kategori hudud (sanksi kriminal). Fiqih klasik pun, juga tidak memuat perihal pencemaran lingkungan hidup.  Bila kini mau dimasukkan, kami pikir ini sebuah penemuan baru di bidang fiqih atau hukum Islam. Kami kira sudah saatnya dan layak untuk merumuskan tentang fiqih lingkungan, sekaligus menentukan kriteria-kriteria apa dan bagaimana yang disebut sebagai membuat kerusakan di muka bumi ini. Sebab, delik-delik pidana itu sebenarnya bisa dirumuskan.

Fiqih lingkungan tentu sangat penting untuk segera dirumuskan. Karena pada dasarnya fiqih lingkungan dapat mengacu pada undang-undang lingkungan yang sudah ada. Kita tinggal mengelaborasi, mana yang dianggap sesuai dengan fiqih, dan mana yang belum sesuai. Lalu, apa kontribusi yang ingin diberikan dunia fiqih tentang lingkungan hidup.

Karena itu, tidak berlebihan bila kita katakana, fiqih itu sebenarnya tidak pernah out of date, kadaluwarsa, maupun ketinggalan zaman. Persoalannya, di negeri kita ini, memang belum ada lembaga yang secara profesional menangani persoalan tersebut. Untuk itu, sudah saatnya dan relevan untuk memunculkan fiqih lingkungan. Agar anak cucu kita dapat terus menghirup udara segar, mengonsumsi rezeki dan nikmat Allah yang ada di laut maupun di darat, tanpa harus takut akan ancaman dan dampak negatif pencemaran lingkungan.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top