-->
author

sticky

close
Pentingnya Komitmen Dan Kejujuran Zaman Sekarang

Pentingnya Komitmen Dan Kejujuran Zaman Sekarang

Di zaman Rasulullah SAW, ada seorang laki-laki yang terkenal suka mencuri menghadap baginda Rasul dengan maksud memeluk Islam. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat laki-laki tersebut berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku mengakui bahwasanya aku suka melakukan dosa yang mana aku tidak bisa meninggalkannya.” Menyingkapi pengakuan mualaf tadi Rasulullah SAW tidak mengeluarkan kata-kata yang berindikasi membiarkan ataupun melarang, bahkan beliau bersabda, “Apakah kamu mau berjanji denganku untuk meninggalkan perkataan dusta (kadzib)?”. Sang mualaf menjawab, “Na’am (ya)”. Dan akhirnya berjanjilah ia di hadapan Rasul untuk meninggalkan perkataan dusta.

Pentingnya Komitmen Dan Kejujuran Zaman Sekarang

Setelah berpisah dengan Rasul, dalam perjalanan, sang mualaf memikirkan tentang kejadian yang baru saja dialami dengan manusia mulia yang bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman sambil berkata dalam hatinya, “Betapa ringan dan mudahnya permintaan akan janjiku kepada Rasulullah yang mulia itu”.

Suatu ketika, timbullah niat sang mualaf untuk mencuri seperti sedia kala, tetapi ia teringat akan janjinya kepada Rasul SAW. Sambil bergumam ia berkata, “Kalau aku mencuri lalu Rasul bertanya padaku, bagaimana aku harus menjawab? Kalau aku menjawab ‘ya’, maka tentunya akan mendapat ganjaran dari perbuatan ini, kalau akau jawab ‘tidak’, berarti aku berdusta sedangkan aku telah berjanji kepada Rasul untuk meninggalkan perkataan dusta, maka keputusan terbaik bagiku adalah tidak mencuri.”

Demikianlah, komitmen sang mualaf kepada Rasul yang mulia untuk meninggalkan perkataan dusta selalu mencegahnya dari perbuatan dosa-dosa yang lain.

Dari kisah di atas kita dapat mengambil ibrah tentang makna komitmen dan kejujuran. Betapa besar dua hal tersebut bagi kehidupan manusia yang selalu diliputi perjanjian satu dengan lainnya yang ujungnya melahirkan rasa kepercayaan maupun sebaliknya. Secara ringkas bisa disimpulkan, kepercayaan satu individu maupun kepercayaan publik terlahir dari cara memandang komitmen dan kejujuran dari individu maupun kelompok di setiap lapisan masyarakat. Boleh jadi cara memandang komitmen dan kejujuran tidak mengenal golongan manusia; baik maupun jahat, karena pada kedua golongan tersebut sama –sama dikenal istilah penghianatan dan dusta sebagai lawan kata dari komitmen dan kejujuran. Maka jangan mudah mengucapkan janji kalau sekiranya tidak punya komitmen dengan janji tersebut.

Pada saat orang berjanji, ia menarik suatu energi kehidupan dari suara hati yaitu harapan. Ketika energi itu belum ia kembalikan terjadilah suatu ketidaksimbangan. Dengan kata lain belum mewujudkan harapan, sehingga menimbulkan reaksi tidak percaya diri dari aksi tidak komitnya seseorang pada janjinya.

Allah berfirman: “Sesungguhnya, orang-orang yang berjanji setia padamu, tiada lain dari berjanji pada Allah. Allah meletakkan tangannya di atas tangan mereka. Tetapi barangsiapa yang melanggar janji, tidak lain ia melanggar janji terhadap dirinya sendiri. Dan barangsiapa menempati janji yang ia janjikan kepada Allah, Allah akan memberikan pahala berlimpah.” (QS 48:10)

Permintaan Rasul kepada sang mualaf untuk berjanji meninggalkan perkataan dusta dirasakan ringan bagi diri sang mualaf, karena memang berkata jujur tentang fakta hakikatnya adalah panggilan hati nurani yang dibenarkan oleh panca indera dan pemikiran yang jernih dari hasil kerja otak dan pertimbangan hati. Sebaliknya, seseorang yang berkata dusta sebenarnya membuat kepayahan pada diri sendiri –pada saat seseorang berdusta ia berusaha dengan segala upaya menyangkal fakta yang diperoleh panca indera, pemikiran, dan nuraninya. Hal ini lebih jelas lagi untuk orang yang baru atau yang jarang berdusta. Ketika bohong, ia tidak dapat melakukan relaksasi. Dan ketika kebohongan sudah diketahui orang lain sering kali para pendusta atau pembohong menutupi kedustaannya dengan berdusta lagi. Bisa jadi malah menutupinya dengan perbuatan dosa yang lebih besar.

Pepatah Arab mengatakan, “ra’sudzunubi alkadzibu” (pangkal dari dosa adalah kebohongan). Walaupun demikian ada beberapa kebohongan yang boleh dilakukan, seperti diantaranya; berbohong untuk mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih, dan untuk melindungi nyawa yang sedang terancam.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top